Ibukota – Reformasi tata kelola global bukanlah hanya sekali mengubah organisasi, metodologi, lalu keanggotaan, tetapi juga mengubah pola pikir, menurut mantan menteri luar negeri RI Marty Natalegawa.
“Kita memerlukan manifestasi konkret serta contoh cepat untuk menggambarkan bagaimana tata kelola global seharusnya terlihat,” kata Marty pada acara peringatan serius 70 tahun Pertemuan Asia Afrika (KAA) oleh CSIS Negara Indonesia pada Jakarta, Rabu.
Dalam pidatonya, Marty juga menyalahkan penyelenggaraan kalimat “kami adalah jembatan” yang tidak ada disertai dengan gagasan stabilitas strategis secara rinci seperti yang digunakan dikerjakan negara-negara Selatan.
“Jembatan macam apa? Anda bukan bisa jadi sekadar mendapatkan peran sebagai jembatan dengan mengulang mantra itu. Anda harus mendapatkan kepercayaan, keyakinan. Reputasi harus diusahakan,” ujar Menteri Luar Negeri RI periode 2009-2014 itu.
Dia juga mengungkapkan bahwa multilateralisme adalah sebuah paradigma serta salah satu ancaman terhadap multilateralisme adalah kebijakan luar negeri yang berorientasi ke di yang digunakan direalisasikan beberapa negara belahan bumi selatan.
“Pandangan anti-globalis serta anti-multilateralis bukanlah satu-satunya yang dimaksud dimiliki oleh apa yang tersebut disebut negara-negara besar. Pendapat ini juga terwujud di dalam negara-negara lain,” ujar Marty.
Dia menyebutkan sudah terjadi fragmentasi, perpecahan geopolitik yang semakin pada dan juga luas hingga memengaruhi isu-isu global lainnya seperti teknologi serta perdagangan.
Selain hambatan pada multilateralisme, kata Marty, terjadi juga hambatan pada diplomasi.
“Diplomasi dipandang sebagai tanda kelemahan, kepatuhan, bahkan penenangan,” ucapnya.
Namun, fakta bahwa negara-negara menghadapi masalah-masalah yang dimaksud justru membuktikan bahwa Dasasila Bandung yang muncul untuk menghadapi situasi geopolitik pada 1955 masih berlaku hingga sekarang, kata Marty.
Pada 2025, Kongres Asia Afrika (KAA) memperingati 70 tahun sejak pertama kali pertarungan beberapa orang kepala negara Asia lalu Afrika yang dimaksud dilaksanakan pada 18-24 April 1955 di Bandung, Jawa Barat.
KAA 1955 menciptakan sepuluhan pernyataan prinsip-prinsip dasar yang dikenal sebagai Dasasila Bandung atau “Bandung Principles”, yang tersebut kemudian berubah menjadi semangat bagi negara-negara Asia juga Afrika menyelesaikan permasalahan kolonialisme juga bermetamorfosis menjadi negara berdaulat.
Artikel ini disadur dari Reformasi tata kelola global juga perlu mengubah pola pikir