Puasa Ramadan: Menyenangkan Hati juga Menenangkan Umat

Puasa Ramadan: Menyenangkan Hati juga Menenangkan Umat

HM. Adib Abdushomad
Kepala Pusat Kerukunan Umat BeragamaKementerian Agama (Kemenag)

KEHADIRAN bulan suci Ramadan selalu ditunggu serta diharapkan kedatangannya bagi umat Islam pada dunia oleh sebab itu di area bulan inilah ada sejumlah keistimewaan dari Allah SWT sang pencipta yang dimaksud menginginkan hambanya menjadi pribadi yang tersebut bertaqwa (laallakum tattaqun).

Dalam sejumlah hal penyelenggaraan ibadah puasa Ramadan satu bulan ini menjadi terasa ringan akibat ada dimensi kolektifitas di beribadah, sebagaimana tercermin pada sholat taraweh serta witir berjamaah.

Belum lagi aktifitas kegiatan takjil, menyingkap puasa sama-sama sangat terasa kebersamaan yang mana ada dari semua yang digunakan terlibat. Bahkan yang mana unik banyak sekali undangan mengakses puasa Ramadan lintas agama tidak ada hanya dari umat Islam yang tersebut sedang punya hajat pelaksanaan ibadah puasa Ramadan.

Dari ilustrasi diatas sangat terlihat ruang transendensi yang tersebut sifatnya individual-personal yang tersebut menghubungkan manusia dengan Tuhan, sekaligus ruang sosial yang mana mempertemukan manusia dengan sesamanya. Dengan demikian di ibadah puasa Ramadan ini terkanding nilai-nilai kebaikan universal.

Namun demikian, pada realitas sosial keagamaan kita, ada sebagian yang digunakan menangkap ibadah puasa Ramadan secara parsial yakni sebagai kewajiban ibadah pribadi, sementara dimensi sosial juga perannya pada menenangkan umat banyak kali terabaikan.

Padahal, puasa Ramadan sejatinya adalah praktik keagamaan yang tersebut mengandung kemungkinan besar untuk menyenangkan hati manusia sekaligus menenangkan relasi sosial di area sedang masyarakat. Dalam perspektif sosiologi agama, Emile Durkheim menyebutkan bahwa ritual keagamaan yang mana dilaksanakan secara kolektif mampu menciptakan solidaritas sosial yang mana menguatkan kohesi masyarakat.

Puasa yang tersebut dijalankan oleh jutaan umat Islam secara serempak di dalam seluruh dunia adalah bentuk nyata dari collective effervescence, sebuah semangat kebersamaan yang mana seharusnya menghidupkan persaudaraan, kasih sayang, juga ketenangan. Namun, ketika puasa hanya sekali dipahami sebagai rutinitas ibadah, tanpa kesadaran sosial yang tersebut menyertainya, maka hilanglah potensi besar menjadikan Ramadan sebagai kesempatan menyemai kerukunan serta kedamaian.

Lebih jauh, puasa juga dapat dipahami pada kerangka psikologi sosial sebagai latihan pengendalian diri (self-control) kemudian regulasi emosi (emotional regulation). Walter Mischel, dengan teorinya tentang delayed gratification, menekankan pentingnya kemampuan individu untuk menunda kepuasan diri demi mencapai tujuan jangka panjang.

Puasa, pada esensinya merupakan bentuk konkret dari pengendalian diri tersebut. Menahan lapar, dahaga, amarah, dan juga perilaku negatif lainnya adalah latihan intensif membentuk kepribadian yang matang secara emosi, stabil pada bersikap, kemudian bijak pada merespons konflik sosial.